“Tinggalkan ayah tinggalkan ibu
Ijinkan kami untuk berjuang
Di bawah kibaran Sang Merah Putih
Majulah ayo maju menyerbu, Serbuuu...”
Eh eh apaan nih, kok main serbu – serbu aja? Jadi gini Sobat Portal, kemarin tanggal 25 – 27 April, SMANSA ngadain diklat PGM XV di Pekacangan, Bener. Diklat Paskibra tahun ini adalah diklat yang paling beda, diklat yang seru, penuh dengan sensasi, dan inovasi. Pokoknya Subhanallah banget, deh!
Lain halnya dengan diklat dan pemantapan ekstrakurikuler lain yang hanya berlangsung dua hari satu malam, ini diklat dilaksanain tiga hari dua malam. Dimulai hari Jumat tepat jam 13.00 upacara pembukaan digelar di aula lama SMANSA. Setelahnya, ada checking barang, dan peserta diklat langsung “digiring” ke perpustakaan atas. And guess what? Di sana udah ada eyang Abu Arifin, salah satu pengawal panglima besar Sudirman dulu waktu perang pra – kemerdekaan. Beliau udah berusia 93 tahun, tapi jangan salah semangat nasionalismenya masih tinggi banget. Di sini, Pak Abu cerita gimana dulu waktu Indonesia belum merdeka, tentang perang dunia kedua dan hubungannya sama penjajahan di Indonesia, riwayat Beliau, dan banyak lagi. Oh iya, di sana juga ada kakak PGM XIII, lhoh! Setelah berbincang dengan Pak Abu sekitar dua jam, kami melanjutkan rangkaian kegiatan diklat, yaitu sholat asar. Selepas itu, kami dikumpulkan di lapangan basket untuk latihan PBB dan seleksi komandan pleton. Tapi latihan ini nggak berlangsung lama karena waktu udah mepet maghrib. Dan karena waktu sudah senja, kami diberi kesempatan untuk ishoma. Tapi ya tetep aja, yang namanya diklat, entah apapun itu pasti ada aja yang nggak mandi. Nggak peduli berapa lama diklat berlangsung.
Malam mulai matang, suara–suara jangkrik juga mulai terdengar bersahut–sahutan diiringi hembus angin yang mengalun pelan. Malam ini aula terasa gelap, bahkan langit yang tanpa bintang itu terlihat lebih cerah dibanding aula. Halah ini apaan lagi. Yap, jadi setelah sholat maghrib, makan dan sholat isya’ kami dikumpulkan di aula buat masuk ke pos–pos yang udah disediain sama kakak kelas. Di sana, kami dapat amanat yang bener- bener harus kudu wajib terpenuhi. Setelah menyelesaikan pos–pos, kami dibawa ke kelas XII IPA 2. Di situ, kami diberi nasehat, oleh Pembina PGM, Pak Erwien Sudarmono. Setelahnya, kami menghabiskan malam untuk membaringkan badan yang lelah ini di kelas yang sudah ditata waktu sore harinya.
Sabtu pagi, tepatnya jam 4, kami bangun. Karena belum subuh, maka kami memutuskan untuk mandi dan membereskan kelas yang kami pakai tidur. Akhirnya adzan berkumandang, kami bergegas menuju masjid sekolah untuk sholat subuh. Dari situ, kami menuju ke aula lagi unuk berkumpul dan sarapan di sekolah. Barang–barang juga sudah kami angkut ke aula. Kenapa? Karena pagi ini kami akan berangkat ke Pekacangan dan bermalam di sana, menikmati udara sejuk pegunungan di pagi hari, sekaligus mungkin dingin yang begitu menusuk di malam harinya. Kami berangkat ke sana kira–kira pukul 05.45. perjalanan yang memakan waktu sekitar 30 menit itu ternyata dimanfaatkan sebagian kawan kami yang masih ngantuk untuk tidur. Tapi tidur itu nggak berlangsung lama karena waktu mulai masuk gang, jalan yang naik turun mirip pinggiran botol aqua tersaji di depan mata kami, meski tentu saja kami nggak jalan, tapi tetap saja barang bawaan banyak yang ambruk, bahkan ada lampu badai ada yang kacanya pecah. Nah, disitulah tempat kekeluargaannya terbentuk. Waktu ngejagain barang bawaan, bercanda di dalem truk, nyanyi–nyanyi nggak jelas bareng.
Oke, nggak terasa kami udah sampai di pertigaan dekat SMP 37 Purworejo. Karena medan yang nggak memungkinkan truk untuk masuk, kami jalan kaki, mungkin sekitar 2,5 kilometer. Sebenarnya nggak begitu jauh, tapi karena jalan yang kebanyakan nanjak dan belum tahu medan sama sekali, jadi terasa jauh. Apalagi barang bawaan kami seabrek, itu bener–bener “mewarnai” perjalanan ke atas pokoknya. Tapi itu semua nggak sia–sia karena selama jalan, kami bisa lihat pemandangan yang subhanallah banget. Kami sampai di sebuah mushola sekitar jam 8, di sana kami istirahat sebentar sambil makan jajan yang kami bawa, sekalian melepas sedikit kepenatan karena medan yang masyaAllah bin subhanallah binti Innalillah.
Nggak lama, atau tepatnya jam 8.20, kami lanjutin perjalanan naik ke dataran yang lebih tinggi dari sebelumnya, dengan jalan yang lebih terjal, sempit, serta berliku, masih bersama barang bawaan yang ’aduhaiii’ banget. Setelah berjalan hampir 30 menit, akhirnya kami benar – benar mencapai camp site yang berada di pucuk gunung. Kata warga di bawah, ini perbatasan Magelang–Purworejo. Widiiiih sumpeh chuyy keren abbiss! Bahkan kita bisa lihat kecamatan Salaman yang ada di Magelang sono noh, dari sini! ;)
Hari emang masih lumayan pagi, tapi kami udah dikomando buat masak santapan makan siang. Sementara yang lainnya mendirikan tenda di dataran yang lebih tinggi dikit, sebagian dari kami masak. Menu siang ini adalah nasi plus oseng buncis. Tapi karena wajan yang terlalu gede kecil kami masak dua kali. Hasil masakannya bener – bener menarik ulur memori ke jaman big camp. Nasi yang begitu pulen mateng nggak rata plus sayur buncis yang rasanya mantab keasinan itu jadi menu makan siang kami. Dan ternyata ini hari, nyata–nyata udah siang. Lengkap dengan seragam olahraga dan sepatu fantofel *kalocewek* kami menapaki kembali jalan sempit nan terjal tadi buat sholat dzuhur. Matahari emang cukup panas, tapi jangan salah, air di sini duiiiingiiiiiiin banget, makanya nggak terasa kulit menggosong. Sambil nunggu komando, kami bercanda dan duduk–duduk bareng di depan mushola. And you know what? Lagi– lagi kami pemanasan buat latihan, tapi kali ini dengan cara lari sampai SMP 37. Alhamdulillah sih, kuat semua. Tapi sialnya, broo.. waktu latihan gerimis dateng tanpa diundang. Fantasi tentang jalan licin itu langsung kebayang di otak kami. Bener aja! Banyak banget yang kepleset, dan sampai di camp site, celana udah nggak berupa celana, sepatu udah nggak wujud sepatu, lumpur–lumpuran pokoknya!
Sore itu, angin bertiup lembut. Tapi gerimis yang terus saja menjadi tirai membuat udara dingin pekat. Untuk sholat maghrib dan isya’, dibangunlah semacam mushola darurat di dekat tenda. Disitu kami sholat berjamaah, bersama udara dingin yang berhambus perlahan. Malam beranjak matang, lampu–lampu badai pun dipasang, rencana buat masak mie rebus bareng gagal total karena hujan. Bahkan acara api unggun yang disetting kakak kelas pun batal. Tapi nggak papa, karena kakaak kelas tahu kita tepar habis naik turun gunung, jadi kami disuruh istirahat sama kakak kelas.
Sekitar pukul 00.30, kami dibangunkan kembali. Dan di mushola darurat, udah ada Pak Erwien, beberapa perwakilan kakak PGM XIII, juga lurah Pekacangan. Subhanallah, salut banget sama beliau–beliau, naik ke gunung yang jalannya gelap, licin bin sempit kaya gitu demi tatap muka dengan kami.
Jam 02.30, kami masih bertahan di mushola darurat dengan posisi nggak keruan, ada yang nglekar, tidur sambil meluk kaki, gokil–gokilan bareng, tidur nempel di batang pohon yang baru aja ditebang, and many other expressions of that frozen weather. Jujur, itu tempat persis kaya barak pengungsian. Nggak lama, salah seorang dari kami dipanggil buat turun menghampiri kakka kelas, dan tiba – tiba terdengar suara, “Ikrar Pelantikan Paskibra Ganesha Misi XV” inilah saat yang mendebarkan, ketika CPGM XV hilang huruf ‘C’ nya. Setelah ke–31 dari kami baca itu tulisan, kami diijinin untuk tidur sekitar 30 menit sambil nunggu waktu subuh.
Tepatnya pukul 04.30 adzan mulai terdengar dari berbagai penjuru. Bersama–sama kami turun menuju mushola,dan setelah beberapa meter turun dari camp site, kami baru sadar betapa indahnya pemandangan yang jauh di sana, lampu–lampu berjajar dan entah kenapa cahayanya keliatan kelap kelip. Byutipul momen lah pokoknya, mah! TUNGGU. Jangan lupakan bahwa hari masih gelap, kita harus lewat jalan yang kemarin, dan hampir semaleman ini gerimis. Lagi–lagi kepleset waktu jalan, dan kali ini lebih seru karena ada saatnya jatuh satu jatuh semua, dan ada saatnya kita nyanyi, “aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi.” mwahahaha… oke, udah sampe mushola, udah selesai sholat, kami naik lagi ke atas buat masak hidangan sarapan. Dan hari ini masih sama seperti kemarin, nasi mateng ggak rata. Tapi hari ini makannya sama mie rebus ala chef Julyo dan sambel ala Pak Lurah desa Wira Wara (baca : Rizal). Kegiatan pun dilanjutkan dengan packing dan turun untuk upacara penutupan di depan mushola. Rempong? Pasti! Jatuh berulang kali? Jelas! Iya gitu, turun kali ini sampe ngerusak jalan setapak di sana gara – gara jatuhnya hampir beruntun. Upacara sudah selesai, dan kami salam–salaman dengan semua yang ikut upacara, dari kak Danton masing–masing kami dapet nasihat singkat yang beda, itu keren!
Dan ini saatnya balik ke sekolah, kami jalan lagi sampai pertigaan dekat SMP 37. Lagi, hujan turun. Untungya sih waktu udah sampai di pertigaan baru turun hujan. And then, truk yang kami tumpangi hadir setelah hujan reda. Wajah–wajah ngantuk terpampang di dalem truk. Malah ada yang tidur nyender di pundak sebelahnya, ada yang tidur sambil berdiri pegangan atas truk.. sampe di sekolah, kami sholat dzuhur, padahal bajunya kuotoooor bingitz. Dan lagi, kami kumpul di lapangan basket. The top of having fun occurs here! Di sini ada peresmian nama desa PGM XV beserta perangkat desanya, pemilihan danton juga. Dan terpilihlah 4 orang lelaki yang menjadi pemimpin kami, Sarju Priyono sebagai ndanton utama, Ivando Yusfi Mubarok sebagai ndanton I, Hermawan Syahirul Alim sebagai ndanton II, dan Magfur Abi sebagai ndanton III. Oh ya, ada juga penyerahan hadiah dari PGM XIV ke Kak Nico Kevin (Ndanton PGM XIV). Itu berupa lukisan atau lebih tepatnya sketch fotot kak Nico yang lagi hormat. Suasana haru sekaligus seneng langsung merebak di tengah lapangan basket yang mulai basah karena gerimis turun. Habis itu kita dikasih sebungkus brotowali, kata kakak kelas hari–hari kita bakal lebih pahit dari itu, jadi kita harus belajar rasain pahitnya sekarang. Sebagai penutupnya, kami dibawa ke kelas XII IPA 2 buat ngeliat video pengibarannya PGM XIV.
Jujur, mereka terlihat begitu rapi saat bertugas. Di luar itu, mereka asyik dengan keluarga mereka, PGM XIV yang menurut pandangan mata saya luar biasa kompak. Benar–benar tali persaudaraan mereka sangat kuat, sekuat pohon jati yang mereka pakai untuk menamai desa mereka. Dan ini menjadi tugas PGM XV untuk melanjutkan perjuangan mereka, untuk membuktikan bahwa mereka tak salah memilih PGM XV untuk menyambung perjalanan mereka. Selamat berjuang, kawan!!
QT w/ Pak Abu Arifin |
PGM XV naik ke Pekacangan!
PGM XV at Pekacangan.
Upacara penutupan Diklat PGM XV
kakak-kakak PGM XIV(1)
kakak-kakak PGM XIV(2)
QT at school setelah dari Pekacangan |
Sunset at Pekacangan |
Artikel by Maratus Solichah
0 komentar:
Posting Komentar